Sabtu, 09 Maret 2013

Peran Bahasa Betawi terhadap Bahasa Indonesia


Peran Bahasa Betawi terhadap Bahasa Indonesia
Seperti diketahui Bahasa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928 diangkat dari bahasa Melayu. Pada saat itu bahasa Melayu memang telah lama dipakai sebagai bahasa pergaulan. Sekitar tahun itu sejumlah surat kabar dan majalah telah ditulis dengan bahasa Melayu. Penerbitan dan persebaran buku-buku berbahasa Melayu telah bermunculan, baik oleh penerbit pemerintah seperti Balai Pustaka maupun oleh penerbit swasta.
Menurut Alisyahbana (Muhadjir, 2000:102) bahwa saat bahasa itu diproklamirkan sebagai bahasa nasional pada tahun 1928 itu sebenarnya tidak lebih daripada cita-cita. Pada waktu itu belum banyak para pejuang yang menginginkan kemerdekaan Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu dalam bahasa politik mereka. Anwar (Muhadjir, 2000:103) juga menjelaskan bahkan ada yang tidak setuju bahasa itu diangkat sebagai Bahasa Indonesia. Halim (Muhadjir, 2000:103) juga menjelaskan bahwa pidato yang dipakai memproklamirkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia diucapkan dalam bahasa Belanda.
Bahasa Indonesia yang tumbuh dari bahasa Melayu mula-mula dipakai dalam keperluan yang lebih terbatas, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Bahasa Indonesia memerlukan ragam-ragam bahasa formal maupun informal. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kata-kata, bahasa daerah dan bahasa Melayu lokal juga merupakan tempat untuk memperoleh kata-kata dan ungkapan baru yang semakin bertambah.
Dengan bersumberkan bahasa asing dan bahasa daerah, keperluan akan ragam bahasa untuk komunikasi formal dapat dipenuhi dari sumber bahasa asing dan daerah. Untuk keperluan yang kurang formal nampaknya bahasa Betawi merupakan sumber yang makin penting untuk ragam bahas ini. Kata-kata Betawi dapat kita temukan dengan mudah dalam halaman-halaman surat kabar dan majalah di Jakarta.
Ungkapan bahasa Betawi semacam itu tampaknya diambil bukan hanya karena tidak ada bandingannya dalam Bahasa Indonesia, melainkan dengan alasan tertentu. Kata-kata itu digunakan karena dianggap lebih efektif dan sensasional sebagai bahasa berita. Bukan hanya kata-kata dari perbendaharaan kata umum semacam itu dapat ditemukan dengan mudahnya dalam halaman surat kabar, tetapi juga kata-kata khas Betawi tampaknya sudah merupakan bagian yang sangat umum digunakan di antara kalangan muda, bahkan juga bagi anak-anak muda di wilayah di luar Jakarta.  

Hubungan Bahasa Betawi dan Bahasa Indonesia
Dapat dilihat betapa tinggi kedudukan bahasa Melayu lokal Betawi dibandingkan dengan bahasa Melayu lokal lainnya dan bahasa daerah di Indonsia. Itu semua dikarenakan bertempat di ibukota, maka mau tidak mau menjadi acuan bagi bahasa lain, yang di pusat biasanya menjadi acuan bagi daerah lainnya. Sejajar dengan itu semua media massa baik elektronik maupun cetak yang berpusat di Jakarta hingga penyebaran dan dikenalnya bahasa Melayu Betawi ini semakin dipermudah. Paling penting bahasa Indonesia hingga sekarang ini tampaknya belum memiliki model bahasa lisan, sehingga bahasa Melayu dapat memenuhi keperluan tersebut.

Bahasa Betawi di Masa yang Akan Datang
Penggunaan kata-kata khas Betawi telah menimbulkan banyak spekulasi tentang peran bahasa Betawi di masa yang akan datang. Untuk kepentingan perkembangan bahasa politik dan pemerintahan serta berbagai komunikasi formal lainnya. Hubungan antara bahasa Indonesia dan Bahasa Betawi adalah hubungan antara dua dialek dari satu bahasa yang sama, dan pemakaiannya secara bergantian digolongkannya ke dalam situasi kebahasaan yang disebut diglosik (Ikranegara, dalam Muhadjir, 2000:103). Bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi, sedangkan Bahasa Betawi dalam situasi tidak resmi tetapi dalam generasi mendatang situasi diglosik itu semakin pudar.

Menurut Moeliono (Muhadjir, 2000:103),
Bila kita ikuti kecenderungan umum di antara kalangan masyarakat luas      untuk berorientasi ke kota Jakarta dalam perilaku kemasyarakatannya yang        modern, maka berdasarkan pengalaman yang terjadi di Inggris, Perancis,          Jepang dan Republik Cina, penulis ini cenderung pada anggapan bahwa      selang satu dua generasi, ragam bahasa kota Jakarta memang akan menjadi      dasar bagi Bahasa Indonesia baku yang mantap.
            Ramalan terakhir merupakan ramalan yang paling berani di antara semua ramalan, jika yang dimaksudkan penulisnya dalam konteks bahasa betawi. Sejauh mana ramalan tersebut akan terwujud, sangat tergantung pada beberapa faktor yang menunjang ramalan itu.
            Bukan hanya anak-anak muda, para pelajar, dan mahasiswa yang belajar di Jakarta, pembantu rumah tangga yang bekerja di Jakarta mereka setiap tahun berbondong-bondong memadati angkutan umum untuk pulang ke desanya mempunyai peran yang sama. Kota Jakarta bukan saja menarik banyak pegawai dan pekerja, tetapi bagi seniman juga. Daerah Jakarta merupakan kota yang memungkinkan mereka mendapatkan banyak uang. Di kota  ini cukup tersedia sarana dan penikmat untuk menampilkan keseniaanya, mereka banyak yang datang untuk panggilan festival atau bahkan sengaja hijrah untuk mengembangkan keseniaanya.
            Lewat radio juga menggunakan bahasa Betawi, bahkan dialog dalam sandiwara dan sinetron juga menggunakan bahasa Betawi. Sama halnya seperti film nasional yang banyak pula yang disusun dalam Bahasa Betawi, tanpa dirasakan sebagai sesuatu yang janggal. Penyebaran surat kabar dan majalah ke wilayah luar Jakarta memang belum banyak, tetapi media itu merupakan alat yang sangat penting dalam perkembangan bahasa. Orang tidak merasa janggal membaca ungkapan Betawi di sebuah koran. Para pemakai Bahasa Indonesia tidak hanya memerlukan satu ragam bahasa dalam kegiatan komunikasi. Tampaknya pilihan ragam bahasa Jakarta sebagai ragam informal lisan tidak dirasakan sebagai kejanggalan.
            Diterimanya Bahasa Indonesia ragam Jakarta sebagai bahasa Indonesia ragam nonformal mungkin bertalian dengan perkembangan ragam bahasa itu di masa lampau.      Bahasa politik yang berkembang di surat kabar nampaknya sejak dulu dikembangkan dari bahasa Melayu rendah. Ragam bahasa rendah ini tampaknya dapat diterima oleh semua golongan dalam masyarakat Indonesia modern karena ragam ini tidak terikat kepada satu masyarakat etnis manapun. Bahasa Melayu betawi pada hakikatnya merupakan bahasa yang tumbuh dari percampuran sekian bahasa daerah, namun tidak satu bahasa daerahpun yang dirasakan lebih menonjol dari bahasa daerah lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar