Peran Bahasa Betawi terhadap Bahasa
Indonesia
Seperti
diketahui Bahasa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928
diangkat dari bahasa Melayu. Pada saat itu bahasa Melayu memang telah lama
dipakai sebagai bahasa pergaulan. Sekitar tahun itu sejumlah surat kabar dan
majalah telah ditulis dengan bahasa Melayu. Penerbitan dan persebaran buku-buku
berbahasa Melayu telah bermunculan, baik oleh penerbit pemerintah seperti Balai
Pustaka maupun oleh penerbit swasta.
Menurut
Alisyahbana (Muhadjir, 2000:102) bahwa saat bahasa itu diproklamirkan sebagai
bahasa nasional pada tahun 1928 itu sebenarnya tidak lebih daripada cita-cita. Pada
waktu itu belum banyak para pejuang yang menginginkan kemerdekaan Indonesia
yang menggunakan bahasa Melayu dalam bahasa politik mereka. Anwar (Muhadjir,
2000:103) juga menjelaskan bahkan ada yang tidak setuju bahasa itu diangkat
sebagai Bahasa Indonesia. Halim (Muhadjir, 2000:103) juga menjelaskan bahwa
pidato yang dipakai memproklamirkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia
diucapkan dalam bahasa Belanda.
Bahasa
Indonesia yang tumbuh dari bahasa Melayu mula-mula dipakai dalam keperluan yang
lebih terbatas, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Bahasa
Indonesia memerlukan ragam-ragam bahasa formal maupun informal. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan akan kata-kata, bahasa daerah dan bahasa Melayu lokal juga
merupakan tempat untuk memperoleh kata-kata dan ungkapan baru yang semakin
bertambah.
Dengan
bersumberkan bahasa asing dan bahasa daerah, keperluan akan ragam bahasa untuk
komunikasi formal dapat dipenuhi dari sumber bahasa asing dan daerah. Untuk
keperluan yang kurang formal nampaknya bahasa Betawi merupakan sumber yang
makin penting untuk ragam bahas ini. Kata-kata Betawi dapat kita temukan dengan
mudah dalam halaman-halaman surat kabar dan majalah di Jakarta.
Ungkapan
bahasa Betawi semacam itu tampaknya diambil bukan hanya karena tidak ada
bandingannya dalam Bahasa Indonesia, melainkan dengan alasan tertentu.
Kata-kata itu digunakan karena dianggap lebih efektif dan sensasional sebagai
bahasa berita. Bukan hanya kata-kata dari perbendaharaan kata umum semacam itu
dapat ditemukan dengan mudahnya dalam halaman surat kabar, tetapi juga kata-kata
khas Betawi tampaknya sudah merupakan bagian yang sangat umum digunakan di
antara kalangan muda, bahkan juga bagi anak-anak muda di wilayah di luar
Jakarta.
Hubungan Bahasa Betawi dan Bahasa
Indonesia
Dapat
dilihat betapa tinggi kedudukan bahasa Melayu lokal Betawi dibandingkan dengan
bahasa Melayu lokal lainnya dan bahasa daerah di Indonsia. Itu semua dikarenakan
bertempat di ibukota, maka mau tidak mau menjadi acuan bagi bahasa lain, yang
di pusat biasanya menjadi acuan bagi daerah lainnya. Sejajar dengan itu semua
media massa baik elektronik maupun cetak yang berpusat di Jakarta hingga
penyebaran dan dikenalnya bahasa Melayu Betawi ini semakin dipermudah. Paling
penting bahasa Indonesia hingga sekarang ini tampaknya belum memiliki model
bahasa lisan, sehingga bahasa Melayu dapat memenuhi keperluan tersebut.
Bahasa Betawi di Masa yang Akan
Datang
Penggunaan
kata-kata khas Betawi telah menimbulkan banyak spekulasi tentang peran bahasa
Betawi di masa yang akan datang. Untuk kepentingan perkembangan bahasa politik
dan pemerintahan serta berbagai komunikasi formal lainnya. Hubungan antara
bahasa Indonesia dan Bahasa Betawi adalah hubungan antara dua dialek dari satu
bahasa yang sama, dan pemakaiannya secara bergantian digolongkannya ke dalam
situasi kebahasaan yang disebut diglosik (Ikranegara, dalam Muhadjir,
2000:103). Bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi, sedangkan Bahasa
Betawi dalam situasi tidak resmi tetapi dalam generasi mendatang situasi
diglosik itu semakin pudar.
Menurut
Moeliono (Muhadjir, 2000:103),
Bila
kita ikuti kecenderungan umum di antara kalangan masyarakat luas untuk berorientasi ke kota Jakarta dalam
perilaku kemasyarakatannya yang modern,
maka berdasarkan pengalaman yang terjadi di Inggris, Perancis, Jepang dan Republik Cina, penulis ini
cenderung pada anggapan bahwa selang
satu dua generasi, ragam bahasa kota Jakarta memang akan menjadi dasar bagi Bahasa Indonesia baku yang
mantap.
Ramalan terakhir merupakan ramalan
yang paling berani di antara semua ramalan, jika yang dimaksudkan penulisnya
dalam konteks bahasa betawi. Sejauh mana ramalan tersebut akan terwujud, sangat
tergantung pada beberapa faktor yang menunjang ramalan itu.
Bukan hanya anak-anak muda, para
pelajar, dan mahasiswa yang belajar di Jakarta, pembantu rumah tangga yang
bekerja di Jakarta mereka setiap tahun berbondong-bondong memadati angkutan
umum untuk pulang ke desanya mempunyai peran yang sama. Kota Jakarta bukan saja
menarik banyak pegawai dan pekerja, tetapi bagi seniman juga. Daerah Jakarta
merupakan kota yang memungkinkan mereka mendapatkan banyak uang. Di kota ini cukup tersedia sarana dan penikmat untuk
menampilkan keseniaanya, mereka banyak yang datang untuk panggilan festival
atau bahkan sengaja hijrah untuk mengembangkan keseniaanya.
Lewat radio juga menggunakan bahasa
Betawi, bahkan dialog dalam sandiwara dan sinetron juga menggunakan bahasa
Betawi. Sama halnya seperti film nasional yang banyak pula yang disusun dalam
Bahasa Betawi, tanpa dirasakan sebagai sesuatu yang janggal. Penyebaran surat
kabar dan majalah ke wilayah luar Jakarta memang belum banyak, tetapi media itu
merupakan alat yang sangat penting dalam perkembangan bahasa. Orang tidak
merasa janggal membaca ungkapan Betawi di sebuah koran. Para pemakai Bahasa Indonesia
tidak hanya memerlukan satu ragam bahasa dalam kegiatan komunikasi. Tampaknya
pilihan ragam bahasa Jakarta sebagai ragam informal lisan tidak dirasakan
sebagai kejanggalan.
Diterimanya Bahasa Indonesia ragam
Jakarta sebagai bahasa Indonesia ragam nonformal mungkin bertalian dengan
perkembangan ragam bahasa itu di masa lampau. Bahasa
politik yang berkembang di surat kabar nampaknya sejak dulu dikembangkan dari
bahasa Melayu rendah. Ragam bahasa rendah ini tampaknya dapat diterima oleh
semua golongan dalam masyarakat Indonesia modern karena ragam ini tidak terikat
kepada satu masyarakat etnis manapun. Bahasa Melayu betawi pada hakikatnya
merupakan bahasa yang tumbuh dari percampuran sekian bahasa daerah, namun tidak
satu bahasa daerahpun yang dirasakan lebih menonjol dari bahasa daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar